Jumat, 04 November 2011

VISI DAN MISI TEKNOLOGI INFORMASI NASIONAL


1. Sebagian besar departemen/institusi pemerintah tampaknya telah paham akan pentingnya visi dan misi penerapan teknologi informasi di masing-masing departemen/institusi. Hal ini tampak dari usaha sebagian besar dari mereka dalam menyelaraskan visi dan misi penerapan teknologi informasinya dengan sasaran departemen/institusi (80%) dan dalam merencanakan investasi teknologi informasi dengan mengacu pada visi dan misi departemen/institusi (74,6%).
2. Bagi sebagian besar departemen/institusi pemerintah, peran suatu kebijakan nasional pada bidang teknologi informasi dianggap sebagai suatu acuan, khususnya dalam menentukan peranan teknologi informasi dalam kegiatan institusi. Bentuk kebijakan nasional teknologi informasi ini cukup dinyatakan dalam suatu kerangka pengembangan teknologi informasi, tidak perlu sampai ke bentuk yang lebih "tinggi" (misalnya undang-undang).
3. Berkaitan dengan visi dan misi dari kebijakan nasional pada bidang teknologi informasi, sebagian besar (72,5%) departemen/institusi pemerintah melihat faktor equity (menjadikan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi pengguna umum) dibandingkan ke-4 faktor lainnya (demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, globalisasi) sebagai faktor terpenting yang harus tercermin dalam kebijakan nasional tersebut. Selanjutnya, mereka menganggap Komputerisasi Pemerintahan atau e-government (59,7%) dan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan (56,7%) sebagai topik-topik terpenting yang harus dicakup dalam visi dan misi kebijakan nasional ini. Sebagai sasaran jangka pendek (kurang dari 5 tahun), mereka melihat Persiapan Sumber Daya Manusia danPendidikan Teknologi Informasi (82,6%), Pelayanan Informasi Publik (69,6%), dan Pengadaan Infrastruktur Teknologi Informasi (65,2%) sebagai target-target yang harus segera dicapai.
2. Peranan TI dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik ("good governance").
1. Berkaitan dengan peran teknologi informasi dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), sebagian besar departemen/institusi tampaknya akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan teknologi informasi di sebagian besar departemen/institusi seperti pada kasus-kasus berikut:
• Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teknologi informasi masih dianggap sebagai alat "pengotomasi proses", yang diharapkan dapat mengurangi proses yang dilakukan secara manual (74%) dibanding sebagai alat yang dapat mengurangi birokrasi.
• Dalam konteks partisipasi semua pihak untuk penyusunan kebijakan, teknologi informasi masih dianggap sebagai alat yang mempermudah pengumpulan informasi ( 79,1%) dibanding sebagai alat yang dapat membuka komunikasi dengan pihak luar seperti publik atau instansi lain (52,2%).
• Dalam konteks keterbukaan (transparansi) internal, teknologi informasi masih dianggap sebagai sarana penyedia akses (55,2%) dibanding sebagai sarana penyediaan informasi yang lebih spesifik seperti latar-belakang suatu kebijakan misalnya.
• Dalam konteks pelaksanaan suatu kebijakan, teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana untuk mempercepat pelaporan (83,6%) dibanding sebagai sarana untuk membantu proses monitoring (55,2%).
• Dalam konteks peningkatan kualitas suatu kebijakan, teknologi informasi masih dilihat sebagai sarana untuk memperluas sumber informasi dan data (79,1%) dibanding sarana yang dapat menciptakan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.
2. Dari sisi evaluasi pemanfaatan teknologi informasi, kondisinya dapat dikatakan memprihatinkan dengan masih adanya beberapa departemen/institusi yang tidak pernah melakukan audit penerapan teknologi informasi (23,9%); kalau pun ada, sebagian besar pelaksanaannya masih bersifat ad-hoc (41,8%). Jika ditelaah lebih lanjut, jenis audit penerapan teknologi informasi yang sering dilakukan lebih merupakan audit non-finansial (65,7%) dibanding audit finansial (52,2%). Hal ini menunjukkan aspek efektifitas penerapan teknologi informasi lebih mendapatkan perhatian dibandingkan aspek efisiensinya. Selain itu, tanggapan departemen/institusi atas keterkaitan audit manajemen dengan audit teknologi informasi amat rendah, baik yang menyatakan terkait (32,8%) maupun yang menyatakan tidak terkait (32,8%). Hal ini perlu dikaji lebih lanjut karena tanggapan ini tidak mendukung kesimpulan sebelumnya, yaitu sebagian besar departemen/institusi menyatakan adanya keselarasan visi dan misi institusi dengan penerapan teknologi informasinya.
3. Seperti halnya pada pemahaman akan tingkat pemanfaatan teknologi informasi, "concern" sebagian besar departemen/institusi pemerintah dengan adanya kebjikan nasional lebih tertumpu pada adanya aturan tata cara akses informasi oleh pihak luar/publik (82,1%) dibanding pada adanya panduan bagaimana departemen/institusi harus menempatkan teknologi informasi untuk review, monitor dan evaluasi (47,8%)
3. Dukungan teknologi informasi untuk pelayanan publik.
1. Saat ini informasi yang dapat diakses oleh publik masih amat terbatas sifatnya, berupa informasi umum mengenai departemen/institusi (67,2%) dan belum berupa informasi yang berkaitan dengan sistem prosedur atau tata cara yang berhubungan dengan pelayanan publik (37,3%). Salah satu yang menyebabkan keterbatasan ini adalah tidak adanya acuan atau panduan di tingkat nasional, seperti yang diharapkan oleh sebagian besar departemen/institusi tersebut (68,7%) dalam bentuk suatu kebijakan yang jelas untuk menyebarkan informasi atau data secara umum kepada publik (71,6%).
2. Di sisi lain, sebagian besar departemen/institusi melihat belum mapannya dukungan infrastruktur (64,2%) dan kurangnya ketersediaan sumber dana dan sumber daya manusia yang memadai (59,7%) sebagai beberapa kendala yang harus diatasi sebelum pelayanan publik dengan dukungan teknologi informasi dapat ditingkatkan.
3. Dari sisi dampak positif akan penerapan teknologi informasi dalam pelayanan publik, sebagian besar departemen/institusi lebih mengharapkan adanya peningkatan kinerja organisasinya sendiri dalam bentuk meningkatnya pelayanan dan efisiensi dari birokrasi (85,1%), walaupun sebagian sudah melihat adanya peningkatan dalam aspek transparansi birokrasi (49,3%).
4. Infrastruktur teknologi informasi
1. Kondisi perangkat keras sebagian besar departemen/institusi pemerintah umumnya terdiri dari PC (92,5%) yang tampaknya telah terhubung dalam suatu jaringan lokal (91%). Sebagian besar dari institusi ini telah memiliki hubungan ke Internet melalui ISP (85,1%). Namun demikian, interkoneksi ke Internet ini masih sederhana konfigurasinya; hal ini terlihat dari kecilnya jumlah institusi yang menggunakan perangkat Network Security (46,3%) atau Network Management (35,8%).
2. Dari sisi perangkat lunak, sebagian besar departemen/institusi pemerintah menggunakan aplikasi office automation, seperti word processing, dll. (80,6%), database management systems (73,1%), dan aplikasi-aplikasi Intranet, seperti Web Publishing (73,1%). Walaupun sebagian besar institusi telah menggunakan komputer untuk fungsi-fungsi yang umum ini, namun demikin masih ada institusi yang sama sekali belum memanfaatkannya.
3. Dari sisi pengembangan infrastruktur teknologi informasi, departemen/institusi pemerintah masih banyak yang mendapatkan bantuan pihak luar dalam bentuk konsultasi pengembangan (68,7%); hal ini mungkin mengindikasikan masih belum memadainya kemampuan internal dalam merencanakan pengembangan infrastruktur teknologi informasi. Lebih lanjut, sebagian besar institusi menyatakan pola pengembangan infrastrukturnya dilakukan secara terencana (59,7%). Walaupun demikian, cukup banyak pula yang menyatakan pola pengembangannya disesuaikan dengan kondisi keuangan departemen (58,2%).
4. Dalam hal pengelolaan infrastruktur tersebut, mereka cukup banyak yang bekerja sama dengan organisasi pusatnya (79,1%); tampaknya pola "sentralisasi" masih cukup kuat disini. Suatu bentuk penggunaan informasi secara bersama-sama telah mulai dilakukan, hal ini tampak dari jawaban cukup banyak departemen/institusi (55,2%). Namun demikian, kerja sama ini sebagian besar menghadapi kendala dalam bentuk integrasi data (53,7%) dan integrasi aplikasi (53,7%). Salah satu penyebabnya kemungkinan adalah belum diterapkannya standarisasi (56,7%).
5. Dari sisi kebutuhan infrastruktur teknologi informasi untuk jangka pendek, sebagian besar departemen/institusi merasakan kebutuhan akan aplikasi dan basis data sebagai kebutuhan utama (55,2%), diikuti oleh perangkat telekomunikasi dan akses jaringan komputer global/nasional serta integrasi dengan organisasi lain yang terkait (43,3%). Sedangkan dari sisi proses/prosedurnya, yang perlu mendapatkan perhatian adalah panduan manajemen dan operasi (61,2%).
5. Sumber daya manusia dalam bidang teknologi informasi
1. Ketersediaan SDM dalam bidang teknologi informasi tampaknya menjadi kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar departemen/institusi pemerintah (70%). Hal ini besar kemungkinannya berkaitan dengan pola pengembangan SDM di bidang teknologi informasi yang kurang menarik minat orang-orang yang berkualitas seperti: a) masalah dengan gaji dan fasilitas yang kurang memadai (55,2%); b) program pengembangan SDM lebih berupa pelatihan internal (89,6%) atau seminar/workshop (67,2%) dibanding memberikan bea siswa misalnya; c) cakupan pekerjaan yang sebagian besar berada pada level "operator" dalam bentuk pemeliharaan data dan aplikasi (82,1%) atau pelatihan pada pemakai (79,1%), walaupun ada juga yang sampai pada level "analis" seperti perancangan aplikasi (68,7%); d) tidak adanya perlakuan khusus (47,8%) baik dalam bentuk insentif maupun jenjang karir.
2. Sebagian besar departemen/institusi mengharapkan adanya kebijakan yang mengatur struktur dan jenjang karir SDM di bidang teknologi informasi (84,1%) dan juga kebijakan untuk pendidikan teknologi informasi berupa sertifikasi dan akreditasi (59,4%) dalam kebijakan nasional dalam bidang teknologi informasi.
6. Pengembangan dan riset teknologi informasi.
1. Kegiatan pengembangan yang banyak dilakukan oleh departemen/institusi pemerintah adalah pengembangan perangkat lunak (56,5%). Sedangkan, produk "lokal" yang sering mereka gunakan adalah masih sebatas jasa pelatihan (50,7%).
2. Sebagian besar menganggap faktor dana sebagai penghambat utama dalam pengembangan ini (78%).
3. Ke depan, mereka mengharapkan dukungan strategi, prioritas, dan arah kebijakan riset (66,7%) dan strategi pengembangan tenaga ahli di bidang teknologi informasi (56,5%) sebagai bagian dari kebijakan nasional di bidang teknologi informasi untuk dapat meningkatkan jumlah dan mutu hasil riset di bidang teknologi informasi.
7. Manajemen dan evaluasi investasi teknologi informasi
1. Sudah cukup banyak departemen/instansi pemerintah yang sadar akan perlunya suatu evaluasi investasi teknologi informasi sebagai bahan untuk membuat rencana ke depan (87%). Namun, belum semuanya melihatnya dari kebutuhan evaluasi internal (59,4%).
2. Kendala utama yang dirasakan menghambat evaluasi pemanfaatan teknologi adalah karena hal ini belum menjadi bagian atau keharusan dari investasi teknologi informasi (66,7%).
3. Dalam melakukan evaluasi keberhasilan investasi teknologi informasi, maka departemen/institusi pemerintah menganggap kriteria yang paling penting adalah efektifitas dan kualitas dalam pelayanan (72,5%), kemudian diikuti oleh produktivitas dan pelayanan organisasi (55,1%) serta pemanfaatan dan utilisasi teknologi informasi (55,1%). Sementara faktor efisiensi dalam mengurangi biaya operasi dan penyelenggaraan dan pengelolaan korporat (organisasi perusahaan) yang efektif dan baik masih belum dilihat sebagai kriteria yang penting untuk dievaluasi.
4. Sementara itu, hampir semua departemen/institusi pemerintah menganggap peranan dan dukungan pimpinan (manajemen puncak) dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi (87%) sebagai faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan investasi di bidang teknologi informasi.
5. Persentase anggaran yang dialokasikan untuk teknologi informasi di masing-masing departemen/institusi pemerintah masih sangat kecil, di bawah 5% (46,3%).
8. Hukum dan issue nasional.
1. Sebagian besar departemen/institusi pemerintah (78,3%) menyadari perlunya suatu kebijakan kerangka hukum secara nasional dan menyeluruh dengan pengaturan HAKI (59,4%) dan akses publik (49,3%) sebagai isu-isu menonjol yang dianggap masih kurang penanganannya.
2. Dari sisi cakupannya, kerangka hukum nasional dalam bidang teknologi informasi diharapkan mencakup keseluruhan aspek secara mendasar (70,9%) dan bukan secara parsial seperti penyesuaian atau penambahan dari hukum yang telah ada.
3. Dari sisi regulasi, sebagian besar menganggap regulasi untuk melindungi hak cipta (56,5%), mengatasi sengketa dalam transaksi elektronis (49,3%), mendukung transaksi elektronis (47,8%), dan memberikan hak yang sama terhadap informasi (46,4%) sebagai bidang-bidang yang mendesak dan belum mendapat perhatian.
4. Dari sisi penerapan hukum dalam bidang teknologi informasi, pemerintah diharapkan untuk secepatnya melengkapi produk perangkat hukum baru yang mengatur teknologi informasi (60,9%). Selain itu, pemerintah juga diharapkan meningkatkan kualitas aparat hukum (50,7%) dan memiliki acuan kerangka hukum teknologi informasi nasional (49,3%).
5. Dalam konteks "otonomi daerah", pemerintah daerah diharapkan dapat mebuat kebijakan sendiri secara penuh tetapi tetap mengacu ke pusat (52,2%), walaupun ada yang mengharapkan pembagian kebijakan yang jelas antara pusat dan daerah (43,5%). Untuk menyelaraskan kebijakan teknologi informasi di pusat dan daerah ini maka kebijakan nasional harus:
• mencakup pemberdayaan masyarakat di daerah dalam bidang teknologi informasi.(59,4%)
• mencakup pelatihan SDM bidang TI di daerah (53,6%)
• mendorong tanggung jawab dan kerja sama departemen/institusi di pusat dan daerah dalam pengembangan SDM.(63,8%)
• kebijakan untuk meningkatkan pendidikan teknologi informasi di daerah (50,7%)
9. Lembaga koordinasi teknologi informasi nasional.
1. Sebagian besar (79,7%) departemen/institusi pemerintah menganggap perlu adanya suatu lembaga di tingkat nasional yang menangani teknologi informasi secara khusus. Namun demikian, mereka masih belum pasti akan bentuk badan ini.
2. Keberadaan suatu lembaga di tingkat nasional yang menangani TI secara khusus dianggap perlu (79,7%)
3. Bentuk badan yang menangani TI secara khusus adalah
• berbentuk komisi independen. (39,1%)
• sebatas koordinasi antar departemen dalam bentuk konsorsium (30,4%)
4. Fungsi keberadaan lembaga tersebut jika dikaitkan dengan pengembangan infrastruktur adalah
• memberikan konsultasi bagi perencanaan pengembangan infrastruktur (planning services). (66,7%)
• mengeluarkan acuan stadarisasi dan integrasi infrastruktur untuk seluruh departemen/institusi pemerintah (60,9%)
• melakukan evaluasi pemanfaatan investasi TI (33,3%)
5. Fungsi keberadaan lembaga tersebut jika dikaitkan dengan penerapan teknologi informasi dalam departemen/institusi pemerintah adalah
• sebagai pusat penyedia layanan informasi teknologi informasi. (47,8%)
• koordinasi kerjasama antar departemen/institusi dalam pelayanan publik (46,4%)
• sebagai pusat pengkajian kelayakan penerapan TI pada departemen/inst pemerintah (40,6%)
6. Fungsi koordinasi lembaga tersebut dalam bidang SDM TI secara nasional adalah sebagai penjabaran peranan dan strategi pengembangan SDM TI secara nasional.
(75,4%)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar